Sang Merak

Merak tetaplah merak
Tak peduli dia hidup di hutan atau di kebun binatang
Sekalipun jauh keindahannya tetap menyentuh
Apalagi jika dekat,
Ehm, jangan salahkan siapa-siapa bila pesonanya makin melekat

Ingin tangan ini membelai bulu antikmu
meski terasa kelu karena tak kuat oleh haru
Hendak raga ini menyandingi kharismamu
meski berpeluh payah karena tak kuat oleh sendu
Mau jiwa ini terbang di punggungmu menjelajahi bumi
Hingga kaki ini tak mendamba tuk lari

Merak tetaplah merak
Dan burung pipit nelangsa terkoyak
Karena ia dan Sang Merak makin jauh berjarak

(Asrama Mahasiswa UI, 12 Mei 2010)

Jalanan oh jalanan

Jalanan bukanlah impian,

tapi dari sanalah perut keluargaku bisa kenyang

Jalanan bukanlah idaman,

tapi dari sanalah aku bisa berbagi kasih sayang

Jalanan adalah kenyataan,

tempat aku memaknai kehidupan

Jalanan adalah kenikmatan,

untuk ku menggapai ridho Tuhan

 

*Sebuah dedikasi untuk para Pahlawan Jalanan yang Kuhormati.

Pesan untuk Tuan-Tuan Besar

Wahai Tuan Pemimpin

Jangan engkau bertindak tak adil agar rakyat tak makin miskin

Wahai Tuan Pejabat                                                                                                           Jangan engkau menjadi ningrat saat rakyat tengah melarat

Wahai Tuan Koruptor                                                                                                         Jangan engkau meraup uang negara dengan tangan kotor saat rakyat sedang tekor

Wahai Tuan Hakim                                                                                                             Jangan engkau berbuat zalim apalagi pada rakyat yang uangnya minim

Wahai Tuan Hartawan                                                                                                     Jangan engkau timbun harta kekayaan karna rakyat banyak yang tak bisa makan

Wahai Tuan Cendekia                                                                                                     Jangan engkau merasa bangga jika masih ada rakyat yang tak bisa membaca

ANAKMU ITU PAKET KOMPLIT, BUK!

Salah satu ‘me time’ yang paling saya suka adalah jalan-jalan di beranda medsos. Bukan untuk kepoin atau stalking orang ya, tapi buat cari hiburan dan nambah wawasan. #ngeles Hihihi.  Pas ketemu status teman dengan foto atau video anak-anak mereka yang lucu-lucu, jemari saya langsung gatel pengen klik ‘suka’. Ya namanya juga anak-anak, tingkah polanya selalu menggemaskan. Walau dalam ekspresi yang bagaimanapun, mau marah, nangis, rewel atau tantrum sekalipun, mereka selalu punya mantra ajaib yang menghipnotis saya menjadi seorang fans girl bagi mereka. Apalagi untuk si Tole, artis utama yang selalu menjadi primadona di rumah, saya akan selalu jadi penggemar setia.

Sebagai seorang penonton, mudah saja bagi saya untuk tersihir oleh pesona yang ditampilkan anak-anak polos itu. Tapi sebagai seorang ibu, saya tahu pasti bahwa di balik foto atau video menggemaskan itu ada banyak kisah ‘seru’ yang tak terekspos oleh media.

Di sisi lain dari senyum ceria atau tatapan imut anak-anak itu, (mungkin) ada tangisan rewel yang pecah membahana seantero rumah dari berjam-jam sebelumnya.

.

.

Ada pukulan atau gigitan pada lengan ibunya efek tantrum karena belum mampu mengucap kata, entah sebelum atau sesudah jepretan kamera.

.

.

Ada kapal Titanic yang kena banjir terhempas di dalam rumah yang menjadi latar belakang foto/video yang seakan ‘tampak’  rapi.

.

.

Atau barangkali ada sosok emak-emak berdaster yang bau ompol dan terasi keringetan abis lari wira wiri mengejar anaknya, takut imejnya rusak dia lalu bersembunyi dari jangkauan kamera dengan berpura-pura jadi juru jepret saja.

 

***Duh, sebenarnya ini rahasia perusahaan tapi sekali-kali bolehlah ya numpang curhat. Wkwkwkwkwk 😂😂😂

 

Dari situlah akhirnya saya paham, anak bukan hanya melulu soal yang lucu-lucu, tapi juga ada tangisan yang menggema di berbagai penjuru.

.

.

Anak sering bersikap manis, tapi adakalanya dia bisa menggigit tanganmu hingga meringis.

.

.

Anak bisa nurut dan kooperatif seharian tapi lantas agresif ketika jam tidur menjelang.

.

.

Anak doyan makan itu ini hari ini, tapi esoknya lepeh sana sini.

 

Percaya atau tidak, itulah kisah sebenarnya yang terjadi dalam keseharian anak-anak. (1) Jangan sampai kita sebagai orang tua salah duga dengan wujud asli anak-anak kita. (2) Belajar untuk terus mengenali dan memahami mereka adalah tugas kita. (3) Jangan mau enaknya saja, lalu lupa untuk mencicip rasa pahitnya dalam mengasuh mereka. (4) Terima dan hargai apa adanya mereka tanpa upaya membandingkan atau menandingkan dengan siapapun juga. Karena sesungguhnya, anakmu, anakku, anak-anak kita adalah paket komplit dari Sang Pencipta.

“its like playing a kite”

The sky is blue so much

It’s captivating me so that I indeed hope for going there to touch

But my hand can’t reach it

So I think I need a kite

                I begin to pay out yarn to make the kite fly

The kite won’t to soar and even its go down time after time

But I still believe it can fly high

Try again and again although I get the pain

When I felt tired and almost depressed to give up

The wind came to help me to soar the kite

For me, that wind is like you, make me can fly and guide me to the sky

I’m sure you love me in that way

You accompany myself grow for facing the world bravely

So this time I want to gratitude to God for uniting us

Together with you, I can experience this love like playing a kite 

MUKAMU

Rindu dan cemburu: dua muka yang sangat menakutkan

Muka yang kau temui ketika ia jauh dari pandangan

….. (rindu)

Bahkan ketika ia dipelukmu, muka itu masih terlihat                                     Muka yang kau hadapi ketika ia mendua meski tengah bersama

…. (cemburu)

Bahkan ketika ia disisimu, muka itu masih terbayang

 

OOOhhh….TIDAAAAAK

Aku bahkan terkecoh mana muka yang kupandangi sekarang Kadang menampakkan pesona rindu,                                                       Bahkan bisa terhimpit dengan cemburu                                                             Selalu tumpang tindih, hingga akhirnya mataku perih

Kumohon jangan bersikap munafik dan plin-plan denganku

Kalau memang kau punya nyali, tunjukkan saja muka mana yang kau wakili

Agar diriku yang begitu bodoh ini bisa mengerti

Sisi mana yang akan kau beri

Bukan Hujan Biasa

hujan

https://mimbarhadits.files.wordpress.com/2014/12/hukum-jamak-shalat-karena-hujan-abu-mujahidah.jpg

Part I

Sore ini langit mendung. Sama seperti sore-sore sebelumnya, hujan tiba-tiba turun saat hari di kala pagi dan siangnya masih menyinarkan terik matahari. Laila berlindung di depan pos satpam sekolah bersama siswa lain yang menanti langit akan berpihak untuk rehatkan hujan yang mengguyur bumi, sebentar saja, minimal di area sekolah ini. Setidaknya sampai Laila bisa sampai di kos tanpa harus membuat tubuhnya kuyub. Laila sempat mendengar gadis yang berdiri di sampingnya mengomel, mengutuki hujan yang masih saja datang padahal ini saatnya kemarau. Ternyata, bukan saja hati manusia yang galau, cuaca pun juga tak mau ketinggalan ‘galau’, pikir Laila.

Sepuluh menit berlalu, hujan sangat deras. Dua puluh lima menit lewat, hujan masih deras. Tiga puluh menit berakhir, hujan pun masih belum mau surut. Air hujan yang mengucur dari genteng mengalirkan penyesalan dalam diri Laila yang entah kenapa lupa membawa payung yang biasanya tersimpan di tas. Laila mencoba mengalihkan perhatian pada guyuran air hujan yang jatuh dari atap lalu muncrat di jalan depan pos satpam. Satu kali air hujan jatuh, tik. Dua kali, tik.. tik.. Kali ketiga puluh Laila asyik menghitung gemericik air hujan, ia dikagetkan oleh sebuah suara.

“Sedang menghitung air hujan, La? Hitungan yang ke berapa sekarang?”

“Eh,, Samson. Mau menantang hujan, Son?”

“Yah, sepertinya pilihan itu lebih baik daripada menghitungi air hujan.” Samson berkata sambil tersenyum menyindir, “Mungkin sampai hitungan ke-seribu, air hujan ini akan tetap deras, La. Teruskan menghitungnya ya. Besok beritahu aku, sampai hitungan ke berapa kau menyerah. Sampai besok”. Samson berlari menyongsong hujan sambil tertawa riang seperti anak kecil yang kegirangan.

***

Tiga hari berlalu, Samson masih saja demam dan flu. Baru kali ini dia sakit lantaran kehujanan. Dulu, meski main hujan-hujanan seharian, dia tidak pernah jatuh sakit. Setelah libur tiga hari, Samson mulai masuk sekolah dan menemukan sebuah kado di laci mejanya. Secarik kertas terselip di balik kertas kado yang bermotif garis-garis hijau.

Ternyata, hujan berhenti saat hitungan yang ke-seratus. Sayang sekali, Samson terburu-buru menantang hujan hingga jatuh sakit. Semoga kado ini bisa membuat Samson bisa tetap menikmati hujan tanpa harus jatuh sakit. Laila

Samson membuka bungkusnya perlahan-lahan dan mendapati sebuah payung berwarna hijau tua di dalamnya.

***

Part II (a)

Sudah 2 hari Laila diselimuti perasaan gelisah. Berkali-kali dia mengecek inbox di handphone-nya, tapi tak kunjung menemukan sms dari seseorang yang dinantikannya. Sudah tiga kali ia menanyakan pada temannya yang sekelas dengan Samson, apakah kado yang dititipkannya sudah diberikan pada Samson atau belum. Meski temannya sudah menjawab iya, tapi Laila tetap merasa gelisah karena belum ada kabar apapun dari Samson. Apa Samson tidak menyukai kado pemberianku ya, pikir Laila yang makin merasa gelisah.

***

Hujan masih saja mengguyur Jakarta. Tapi kini Laila tak lagi menyukai hujan karena ia masih melihat Samson kuyub kehujanan saat pulang sekolah.

 

Part II (b)

Sudah 2 hari Samson diselimuti perasaan gelisah. Berkali-kali ia mengecek inbox di handphone-nya, tapi tak kunjung menemukan sms dari seseorang yang dinantikannya. Sudah tiga kali ia menanyakan pada temannya, apakah kado yang diterimanya benar-benar pemberian Laila atau bukan. Meski temannya sudah menjawab iya, tapi Samson tetap merasa gelisah karena belum ada kabar apapun dari Laila. Kenapa Laila tiba-tiba memberikan payung ini padaku ya, pikir Samson yang makin merasa gelisah.

***

Hujan masih saja mengguyur Jakarta. Samson makin menyukai susasana hujan karena ia bisa memakai payung warna hijau tuanya sembari bermain hujan dengan ‘teman-teman’ kecilnya di taman sekolah.

***

Part III (a)

Laila tampak ceria seperti biasanya. Meski hujan masih sering mengguyur Jakarta beberapa hari ini, Laila sengaja tidak membawa payung agar ia bisa berbarengan bersama Mila, sahabatnya yang tinggal satu kosan dengannya. Kadang-kadang, Laila malah main hujan-hujanan bersama anak-anak kecil yang biasa berjualan koran di dekat sekolahnya.

***

Part III (b)

Samson tidak tampak ceria seperti biasanya. Meski hujan masih sering mengguyur Jakarta beberapa hari ini, Samson tidak lagi menikmatinya karena ia tak bisa mendekati Laila untuk menanyakan tentang payung warna hijau tua yang diberikannya. Mila selalu menggagalkan rencananya tiap kali Samson memberanikan dirinya untuk mendekati Laila. Ia tak lagi mengunjungiteman-teman kecilnya yang biasa menjual koran di dekat sekolahnya untuk bermain hujan-hujanan.

***

Part IV

Senja ini langit mendung lagi. Sama seperti hari-hari sebelumnya, hujan tiba-tiba turun saat hari di kala pagi dan siangnya masih menyinarkan terik matahari. Laila berlindung di depan pos satpam sekolah bersama siswa lain yang menanti langit akan berpihak untuk merehatkan hujan yang mengguyur bumi, sebentar saja, minimal di area sekolah ini. Setidaknya sampai Laila bisa tiba di kos tanpa harus membuat tubuhnya basah kuyub karena hari ini ia masih tidak enak badan. Kalau saja hari ini tidak ada ulangan, Laila lebih memilih istirahat di kamar kosnya dan tak perlu repot-repot masuk sekolah. Laila sempat mendengar gadis yang berdiri di sampingnya mengomel, mengutuki hujan yang masih saja datang padahal sudah seharusnya kemarau datang. Laila ingin membalas omelan gadis itu dengan mengatakan kalau ini mungkin salah dia, salah Laila atau siapa pun yang tidak ikut menjaga alam dengan baik dan bijak hingga global warming menjadi ‘hukuman’ bagi penghuni bumi.  Tapi, Laila akhirnya memilih diam karena tak ingin menambah keruh suasana hatinya yang sedang murung.

Sepuluh menit berlalu, hujan sangat deras. Dua puluh lima menit lewat, hujan masih deras. Tiga puluh menit berakhir, hujan masih belum mau surut. Air hujan yang mengucur dari telapak genteng mengalirkan penyesalan dalam diri Laila yang sengaja malas membawa payung yang biasanya bertengger di tas padahal ia sedang sakit. Laila mencoba mengalihkan perhatiannya pada guyuran air hujan yang jatuh dari atap lalu muncrat di jalan depan. Satu kali air hujan jatuh, tik. Dua kali, tik.. tik.. Kali kelima belas Laila asyik menghitung gemericik air hujan, ia dikagetkan oleh sebuah suara.

“Kak Laila, enggak bawa payung ya?I“

“Astaga, Riski. Kamu bikin kaget Kaka deh. Iya, Kaka malas bawa payung lagi. Kamu enggak jualan hari ini?”

“Jualan kok, Ka. Tapi korannya lagi aku titipin sama temen.”

“Lho, memangnya kenapa? Kamu titipin ke siapa korannya, ke Umar?”

“Bukan, Ka. Umar libur hari ini karena dia ada ulangan. Kaka mau bareng? Aku bawa payung hari ini”

“Wah, kebetulan banget, Ki. Kaka enggak bisa hujan-hujanan hari ini karena lagi flu. Sini, payungnya biar Kaka yang pegang!”

Karena langit gelap diselubungi awan mendung, Laila tidak memperhatikan payung yang dibentangkannya dengan seksama. Warna hijau tua memantul dari genangan air hujan di depan pos dan seorang laki-laki berdiri bersandar di dinding pos, tersenyum bahagia sambil mendekap setumpuk koran di dadanya.

Balada Tresno Sri dan Bejo

Episode: “Ayam yang Tertukar”

http://peternakan.umm.ac.id/id/umm-news-2455-cara-beternak-ayam-kampung-pedaging.html
http://peternakan.umm.ac.id/id/umm-news-2455-cara-beternak-ayam-kampung-pedaging.html

Menapak langit senja yang cerah, Sri mondar-mandir di ruang tamu dengan gelisah. Tak betah menunggu sang pujaan hati pulang, ia hanya bisa memandang keluar dengan gamang. Sekonyong-konyong, ada ketukan di balik jendela.

“Dek,”

Sri lantas berlari kencang menghampiri pintu, menyambut si pemilik suara yang sudah tegap berdiri di seberangnya dengan wajah berkeringat, namun tersimpul senyuman hangat. Sri balas tersenyum dengan rona wajah penuh mawar sekuntum. “Masuk, Mas. Dek Sri ambilin minum ya”

“Hmmm, baunya enak, Dek. Hari ini adek masak apa?” Bejo melenggang ke dapur yang biasanya bernuansa bening, kini berganti dengan warna kuning.

“Dek Sri bikinin ini khusus buat Mas. Yang selalu Mas kangenin, Soto Medan.”

Wajah Bejo pun sumringah, tak sanggup ia bersembunyi dari kejujuran bahwa hatinya diselimuti rasa syukur akan perhatian dari belahan jiwanya. Ia pun tak mau sedikitpun menunda melihat sepiring nasi sudah terhidang di hadapannya. Suapan pertama, Bejo hanya mengulum senyum. Dengan jantung yang berdegup kencang, Sri menanti sebuah komentar. Bejo hanya terus melanjutkan mengunyah dengan suapan kedua, ketiga dan seterusnya. Karena tak tahan membendung gundah yang membuncah, Sri tak sabar hati untuk bertanya,

“Gimana Mas, Soto Medan buatanku enak tidak?”.

Kali ini Bejo tak hanya menghujani Sri dengan senyuman, tapi jempolan. “Enak, Dek, Cuma rasanya mirip Opor Ayam ya,”

Sri hanya bisa duduk bersimpuh mendengarnya, sambil mendekap kebisuan dengan wajah merah bersemburat malu yang tak terkira.

 

–Bersambung–

Mau diapakan “tikus-tikus” yang menjadi budak setan?

Image: http://www.keratonalamcirebon.com/rodent-control-cara-terbaik-dalam-pengendalian-berbagai-hama-jenis-tikus/
Image: http://www.keratonalamcirebon.com/rodent-control-cara-terbaik-dalam-pengendalian-berbagai-hama-jenis-tikus/

antara hening dan denting
bingung,
membisu atau mengaku?
berpura-pura tenang padahal masih gamang
berlaku pintar padahal cuma menakar

“ada” atau “tiada”, memangkah berbeda?
bilakah “ada”, kenapa mereka tak melihatnya?
Kenapa tak ada yang mendengar rintihnya?
Bahkan tak pula mereka sadar bahwa ia sejatinya nyata?

Nyata sangat hingga mataku silau karena kilaunya,
Sampai kupingku penat karena rintihannya yang menyayat
Bahkan jiwa pun jengah karena derita yang mendarah

Duh, Gusti. Mungkinkah kami telah kehilangan hati untuk merasai, merabai dan mengakali segala peristiwa perih yang melanda negeri ini?
Busung lapar mewarnai layar kami pagi siang malam
Anak negeri kami putus pengharapan lantaran tak punya segepok uang
Para ayah terluka harga dirinya, tak mampu menafkahi keluarga hanya sebab tak punya ijazah tuk meminang pekerjaan
Balita kami kepayahan karena sakit “tak biasa” yang menguji hidupnya
Saudara kami merintih dalam nestapa kehilangan orang yang dikasihi karena bencana yang melimpahi tanah air kami
Kaki putra pertiwi “kapalan” lantaran lelah menyusuri jalan siang malam; terjebak dalam roda kemiskinan
Tanah, laut dan udara kami tak cantik lagi karena tangan-tangan setan yang berdalih ingin melindungi

Sementara para “tikus” negeri ini asyik mengerat harta kami
Terus mengais mempersiapi liang kubur kami sambil senyum sumringah menontoni
negeri yang perlahan sekarat karena ulah manusia yang tak lagi takut dengan ayat

Gusti Pangeran, hanya Engkau yang punya jawaban
Mau diapakan “tikus-tikus” yang sudah menjadi budak setan?