Bukan Hujan Biasa

hujan

https://mimbarhadits.files.wordpress.com/2014/12/hukum-jamak-shalat-karena-hujan-abu-mujahidah.jpg

Part I

Sore ini langit mendung. Sama seperti sore-sore sebelumnya, hujan tiba-tiba turun saat hari di kala pagi dan siangnya masih menyinarkan terik matahari. Laila berlindung di depan pos satpam sekolah bersama siswa lain yang menanti langit akan berpihak untuk rehatkan hujan yang mengguyur bumi, sebentar saja, minimal di area sekolah ini. Setidaknya sampai Laila bisa sampai di kos tanpa harus membuat tubuhnya kuyub. Laila sempat mendengar gadis yang berdiri di sampingnya mengomel, mengutuki hujan yang masih saja datang padahal ini saatnya kemarau. Ternyata, bukan saja hati manusia yang galau, cuaca pun juga tak mau ketinggalan ‘galau’, pikir Laila.

Sepuluh menit berlalu, hujan sangat deras. Dua puluh lima menit lewat, hujan masih deras. Tiga puluh menit berakhir, hujan pun masih belum mau surut. Air hujan yang mengucur dari genteng mengalirkan penyesalan dalam diri Laila yang entah kenapa lupa membawa payung yang biasanya tersimpan di tas. Laila mencoba mengalihkan perhatian pada guyuran air hujan yang jatuh dari atap lalu muncrat di jalan depan pos satpam. Satu kali air hujan jatuh, tik. Dua kali, tik.. tik.. Kali ketiga puluh Laila asyik menghitung gemericik air hujan, ia dikagetkan oleh sebuah suara.

“Sedang menghitung air hujan, La? Hitungan yang ke berapa sekarang?”

“Eh,, Samson. Mau menantang hujan, Son?”

“Yah, sepertinya pilihan itu lebih baik daripada menghitungi air hujan.” Samson berkata sambil tersenyum menyindir, “Mungkin sampai hitungan ke-seribu, air hujan ini akan tetap deras, La. Teruskan menghitungnya ya. Besok beritahu aku, sampai hitungan ke berapa kau menyerah. Sampai besok”. Samson berlari menyongsong hujan sambil tertawa riang seperti anak kecil yang kegirangan.

***

Tiga hari berlalu, Samson masih saja demam dan flu. Baru kali ini dia sakit lantaran kehujanan. Dulu, meski main hujan-hujanan seharian, dia tidak pernah jatuh sakit. Setelah libur tiga hari, Samson mulai masuk sekolah dan menemukan sebuah kado di laci mejanya. Secarik kertas terselip di balik kertas kado yang bermotif garis-garis hijau.

Ternyata, hujan berhenti saat hitungan yang ke-seratus. Sayang sekali, Samson terburu-buru menantang hujan hingga jatuh sakit. Semoga kado ini bisa membuat Samson bisa tetap menikmati hujan tanpa harus jatuh sakit. Laila

Samson membuka bungkusnya perlahan-lahan dan mendapati sebuah payung berwarna hijau tua di dalamnya.

***

Part II (a)

Sudah 2 hari Laila diselimuti perasaan gelisah. Berkali-kali dia mengecek inbox di handphone-nya, tapi tak kunjung menemukan sms dari seseorang yang dinantikannya. Sudah tiga kali ia menanyakan pada temannya yang sekelas dengan Samson, apakah kado yang dititipkannya sudah diberikan pada Samson atau belum. Meski temannya sudah menjawab iya, tapi Laila tetap merasa gelisah karena belum ada kabar apapun dari Samson. Apa Samson tidak menyukai kado pemberianku ya, pikir Laila yang makin merasa gelisah.

***

Hujan masih saja mengguyur Jakarta. Tapi kini Laila tak lagi menyukai hujan karena ia masih melihat Samson kuyub kehujanan saat pulang sekolah.

 

Part II (b)

Sudah 2 hari Samson diselimuti perasaan gelisah. Berkali-kali ia mengecek inbox di handphone-nya, tapi tak kunjung menemukan sms dari seseorang yang dinantikannya. Sudah tiga kali ia menanyakan pada temannya, apakah kado yang diterimanya benar-benar pemberian Laila atau bukan. Meski temannya sudah menjawab iya, tapi Samson tetap merasa gelisah karena belum ada kabar apapun dari Laila. Kenapa Laila tiba-tiba memberikan payung ini padaku ya, pikir Samson yang makin merasa gelisah.

***

Hujan masih saja mengguyur Jakarta. Samson makin menyukai susasana hujan karena ia bisa memakai payung warna hijau tuanya sembari bermain hujan dengan ‘teman-teman’ kecilnya di taman sekolah.

***

Part III (a)

Laila tampak ceria seperti biasanya. Meski hujan masih sering mengguyur Jakarta beberapa hari ini, Laila sengaja tidak membawa payung agar ia bisa berbarengan bersama Mila, sahabatnya yang tinggal satu kosan dengannya. Kadang-kadang, Laila malah main hujan-hujanan bersama anak-anak kecil yang biasa berjualan koran di dekat sekolahnya.

***

Part III (b)

Samson tidak tampak ceria seperti biasanya. Meski hujan masih sering mengguyur Jakarta beberapa hari ini, Samson tidak lagi menikmatinya karena ia tak bisa mendekati Laila untuk menanyakan tentang payung warna hijau tua yang diberikannya. Mila selalu menggagalkan rencananya tiap kali Samson memberanikan dirinya untuk mendekati Laila. Ia tak lagi mengunjungiteman-teman kecilnya yang biasa menjual koran di dekat sekolahnya untuk bermain hujan-hujanan.

***

Part IV

Senja ini langit mendung lagi. Sama seperti hari-hari sebelumnya, hujan tiba-tiba turun saat hari di kala pagi dan siangnya masih menyinarkan terik matahari. Laila berlindung di depan pos satpam sekolah bersama siswa lain yang menanti langit akan berpihak untuk merehatkan hujan yang mengguyur bumi, sebentar saja, minimal di area sekolah ini. Setidaknya sampai Laila bisa tiba di kos tanpa harus membuat tubuhnya basah kuyub karena hari ini ia masih tidak enak badan. Kalau saja hari ini tidak ada ulangan, Laila lebih memilih istirahat di kamar kosnya dan tak perlu repot-repot masuk sekolah. Laila sempat mendengar gadis yang berdiri di sampingnya mengomel, mengutuki hujan yang masih saja datang padahal sudah seharusnya kemarau datang. Laila ingin membalas omelan gadis itu dengan mengatakan kalau ini mungkin salah dia, salah Laila atau siapa pun yang tidak ikut menjaga alam dengan baik dan bijak hingga global warming menjadi ‘hukuman’ bagi penghuni bumi.  Tapi, Laila akhirnya memilih diam karena tak ingin menambah keruh suasana hatinya yang sedang murung.

Sepuluh menit berlalu, hujan sangat deras. Dua puluh lima menit lewat, hujan masih deras. Tiga puluh menit berakhir, hujan masih belum mau surut. Air hujan yang mengucur dari telapak genteng mengalirkan penyesalan dalam diri Laila yang sengaja malas membawa payung yang biasanya bertengger di tas padahal ia sedang sakit. Laila mencoba mengalihkan perhatiannya pada guyuran air hujan yang jatuh dari atap lalu muncrat di jalan depan. Satu kali air hujan jatuh, tik. Dua kali, tik.. tik.. Kali kelima belas Laila asyik menghitung gemericik air hujan, ia dikagetkan oleh sebuah suara.

“Kak Laila, enggak bawa payung ya?I“

“Astaga, Riski. Kamu bikin kaget Kaka deh. Iya, Kaka malas bawa payung lagi. Kamu enggak jualan hari ini?”

“Jualan kok, Ka. Tapi korannya lagi aku titipin sama temen.”

“Lho, memangnya kenapa? Kamu titipin ke siapa korannya, ke Umar?”

“Bukan, Ka. Umar libur hari ini karena dia ada ulangan. Kaka mau bareng? Aku bawa payung hari ini”

“Wah, kebetulan banget, Ki. Kaka enggak bisa hujan-hujanan hari ini karena lagi flu. Sini, payungnya biar Kaka yang pegang!”

Karena langit gelap diselubungi awan mendung, Laila tidak memperhatikan payung yang dibentangkannya dengan seksama. Warna hijau tua memantul dari genangan air hujan di depan pos dan seorang laki-laki berdiri bersandar di dinding pos, tersenyum bahagia sambil mendekap setumpuk koran di dadanya.

Balada Tresno Sri dan Bejo

Episode: “Ayam yang Tertukar”

http://peternakan.umm.ac.id/id/umm-news-2455-cara-beternak-ayam-kampung-pedaging.html
http://peternakan.umm.ac.id/id/umm-news-2455-cara-beternak-ayam-kampung-pedaging.html

Menapak langit senja yang cerah, Sri mondar-mandir di ruang tamu dengan gelisah. Tak betah menunggu sang pujaan hati pulang, ia hanya bisa memandang keluar dengan gamang. Sekonyong-konyong, ada ketukan di balik jendela.

“Dek,”

Sri lantas berlari kencang menghampiri pintu, menyambut si pemilik suara yang sudah tegap berdiri di seberangnya dengan wajah berkeringat, namun tersimpul senyuman hangat. Sri balas tersenyum dengan rona wajah penuh mawar sekuntum. “Masuk, Mas. Dek Sri ambilin minum ya”

“Hmmm, baunya enak, Dek. Hari ini adek masak apa?” Bejo melenggang ke dapur yang biasanya bernuansa bening, kini berganti dengan warna kuning.

“Dek Sri bikinin ini khusus buat Mas. Yang selalu Mas kangenin, Soto Medan.”

Wajah Bejo pun sumringah, tak sanggup ia bersembunyi dari kejujuran bahwa hatinya diselimuti rasa syukur akan perhatian dari belahan jiwanya. Ia pun tak mau sedikitpun menunda melihat sepiring nasi sudah terhidang di hadapannya. Suapan pertama, Bejo hanya mengulum senyum. Dengan jantung yang berdegup kencang, Sri menanti sebuah komentar. Bejo hanya terus melanjutkan mengunyah dengan suapan kedua, ketiga dan seterusnya. Karena tak tahan membendung gundah yang membuncah, Sri tak sabar hati untuk bertanya,

“Gimana Mas, Soto Medan buatanku enak tidak?”.

Kali ini Bejo tak hanya menghujani Sri dengan senyuman, tapi jempolan. “Enak, Dek, Cuma rasanya mirip Opor Ayam ya,”

Sri hanya bisa duduk bersimpuh mendengarnya, sambil mendekap kebisuan dengan wajah merah bersemburat malu yang tak terkira.

 

–Bersambung–

Mau diapakan “tikus-tikus” yang menjadi budak setan?

Image: http://www.keratonalamcirebon.com/rodent-control-cara-terbaik-dalam-pengendalian-berbagai-hama-jenis-tikus/
Image: http://www.keratonalamcirebon.com/rodent-control-cara-terbaik-dalam-pengendalian-berbagai-hama-jenis-tikus/

antara hening dan denting
bingung,
membisu atau mengaku?
berpura-pura tenang padahal masih gamang
berlaku pintar padahal cuma menakar

“ada” atau “tiada”, memangkah berbeda?
bilakah “ada”, kenapa mereka tak melihatnya?
Kenapa tak ada yang mendengar rintihnya?
Bahkan tak pula mereka sadar bahwa ia sejatinya nyata?

Nyata sangat hingga mataku silau karena kilaunya,
Sampai kupingku penat karena rintihannya yang menyayat
Bahkan jiwa pun jengah karena derita yang mendarah

Duh, Gusti. Mungkinkah kami telah kehilangan hati untuk merasai, merabai dan mengakali segala peristiwa perih yang melanda negeri ini?
Busung lapar mewarnai layar kami pagi siang malam
Anak negeri kami putus pengharapan lantaran tak punya segepok uang
Para ayah terluka harga dirinya, tak mampu menafkahi keluarga hanya sebab tak punya ijazah tuk meminang pekerjaan
Balita kami kepayahan karena sakit “tak biasa” yang menguji hidupnya
Saudara kami merintih dalam nestapa kehilangan orang yang dikasihi karena bencana yang melimpahi tanah air kami
Kaki putra pertiwi “kapalan” lantaran lelah menyusuri jalan siang malam; terjebak dalam roda kemiskinan
Tanah, laut dan udara kami tak cantik lagi karena tangan-tangan setan yang berdalih ingin melindungi

Sementara para “tikus” negeri ini asyik mengerat harta kami
Terus mengais mempersiapi liang kubur kami sambil senyum sumringah menontoni
negeri yang perlahan sekarat karena ulah manusia yang tak lagi takut dengan ayat

Gusti Pangeran, hanya Engkau yang punya jawaban
Mau diapakan “tikus-tikus” yang sudah menjadi budak setan?

Topi Merah Jambu Buat Bapak

Sampah-sampah kota berserakan, berbaring di hamparan tanah lapang. Pameran alami ini sama sekali tak mengundang minat orang yang lalu lalang di sekitarnya, bahkan untuk sekedar meliriknya.  Ah, lumrah, begitu pikir mereka. Tetapi tidak bagi pemilik sepasang bola mata bening yang tengah menerawang jauh di ujung jalan setapak. Tidak lebih dari 10 meter dari situ, dia berdiri tepat di bawah pohon yang tinggal ranting dan dahan. Pohon satu-satunya yang menjadi penghias area Tempat Pembuangan Sampah. Bukan, lebih tepatnya Tempat Pengumpulan Sampah. Senyuman manis tersimpul di wajah bocah ayu itu. Oh Tuhan, begitu cepatnya sampah-sampah itu menggunung lagi, ucapnya dalam hati.

Perlahan dia merogoh saku bajunya yang kusut. Lima ribu. Hanya selembar kertas warna coklat itu yang didapatnya dari seharian memulung sampah di pinggiran kota Jakarta. Akhir-akhir ini para eksekutif sampah hanya mau membeli rosok-rosok itu di bawah harga standar. Ya mau bagaimana lagi. Pemerintah saja masih bingung dengan langkah apa yang harus dilakukan untuk menyulap sampah-sampah itu menjadi barang yang bisa mendatangkan uang. Lalu, apa yang bisa dilakukan rakyatnya? Satu pertanyaan besar yang tak mungkin akan terjawab oleh bocah cilik seumuran dia. Sejenak bocah cilik itu diam. Sekonyong-konyong dia memanjat pohon, matanya, menjelajahi samudera sampah yang begitu menakjubkan. Aha! Dia berteriak girang. Indera penglihatannya menangkap sesosok benda berwarna merah jambu yang terletak hanya sekitar 2 meter dari posisinya sekarang. Sigap, ia turun dari pohon dan langsung berlari. Terkadang ia harus melakukan lompatan-lompatan kecil untuk melewati gundukan pecahan botol-botol agar kakinya tak terluka. Hup! Lompatan kecil terakhirnya berhasil mendarat dengan lancar. Dipungutnya benda itu. Ups, ternyata benda cantik itu adalah topi. Topi merah jambu yang bertali merah darah dengan -warna yang sudah pudar di sana-sini. Alhamdulillah, ucapan syukur terlontar dari bibir mungilnya.

Tangan kiri bocah kecil itu memegang topi, sementara yang kanan menepuk-tepuk debu yang menempel di atasnya, Dengan mantap, ia mengenakan topi itu di kepalanya sambil berkaca di bongkahan botol yang tergeletak di hadapannya. Cantik, pujinya dalam hati.

Sesampainya di rumah, bocah cilik itu tidak mau menanggalkan topinya sedetik pun. Bahkan saat dia merebus ubi di atas tungku perapian. Dia abru sadar saat suara bass yang serak di balik pintu memanggil-panggil namanya. “Kana, bapak wes mulih, Nduk,” teriak suara laki-laki yang baru saja memasuki rumah. Laki-laki setengah baya itu meletakkan keranjang sampah yang terbuat dari rotan di belakang pintu. Kana, bocah cilik itu segera menyembunyikan topi merah jambunya di bawah dipan. Dia berjalan dengan santai menghampiri sang bapak dengan secangkir kopi pahit yang sudah siap di tangannya.

“Loh, kok Bapak sudah pulang? Ini kopi buat Bapak.“ ucap Kana sambil menyuguhkan kopi di atas meja. Kana duduk di sebelah Bapak, menundukkan badannya untuk mencium tangan Bapak.

“Hari ini sepi, Nduk. Badan Bapak nggeregesi pisan. “ Bapak menyeruput kopi sebentar lalu merebahkan tubuhnya di atas dipan. Kana mendengar desah nafas panjang yang keluar dari helaan nafas Bapak. Kana berpaling menuju dapur. Langkahnya terasa berat melihat kondisi Bapak yang semakin kurus.

Kana menyajikan sepiring ubi rebus sebagai teman kopi di atas meja. Dia lalu menghampiri Bapak untuk memijat lengannya sambil menyanyikan tembang kesayangannya, Suwe Ora Jamu. Bapak yang merasa lelah langsung terlelap dalam buaian Kana. Setelah Bapak tertidur, Kana mengambil topi merah jambunya. “Besok adalah hari Bapak ulang tahun. Aku ingin member kado untuk Bapak,” pelan Kana bergumam sendiri.

Kana mencari kaleng di atas lemari. Ia mengambil seutas benang dan jarum. Ia mulai menyulam nama Bapak, mengawali dari huruf S, lalu A, lalu B, A lagi dan yang terakhir adalah R. meski sulamannya kurang bagus, tapi lumayan lah untuk anak seumuran 10 tahun seperti dirinya. Setelah selesai, Kana meletakkan toip merah jambu itu di atas sajadah hijau Bapak. Ia lalu mengambil sebuah pena dan mulai menulis di atas secarik kertas. Kalimat terakhirnya pun sukses tergores. Lalu, Kana melipat kertas dengan rapi dan menyandingkannya di dekat topi.

***

Malam hari Bapak terbangun untuk sholat. Selesai membasuh muka dengan air wudlu, Bapak mengambil sarung di lemari. Terkejut, ia melihat topi merah jambu di atas sajadahnya. Tapi pandangannya terfokus pada kertas berbentuk persegi yang ada di sisinya. Pelan dia membuka kertas dengan hati-hati. Tulisan tangan yang agak acak-acakan mulai terkuak dan setelah terbaca dengan utuh, kalimatnya berbunyi:

                         Bapak, selamat ulang tahun.

                         Semoga Allah selalu mencurahkan kasih sayangNya untuk Bapak.

                         Maafkan Kana ya, Pak. Cuma ini yang bisa Kana beri untuk Bapak.

                                                                                                                          Kana

Butiran air mata menetes dari pelupuk mata Bapak. Tubuhnya terasa gemetar, aliran darahnya berdesir saat mengeja kata demi kata yang tergores di kertas itu. Tak hanya sekali atau dua, dia membaca kertas itu berulang-ulang hingga dia hapal dengan isi surat itu. Ibarat sebuah mantra yang mampu memberikan kekuatan batin baginya dan membengkitkan gairah hidupnya yang hampir padam. Rasa ngegeregesi yang tadi menyergap tubuhnya kini lenyap sudah, Ya Allah, terima kasih atas mukijizatMu yang Engkau amanahkan kepadaku. Gadis kecilku, Kana, semoga Allah selalu menjagamu dalam genggaman kasihNya yang tiada tara. Nyanyian malam yang merdu membenamkannya dalam munajat cinta pada Sang Pencipta.

***

Burung-burung nuri yang cantik bernyanyian riang di dahan pohon,Embun pagi berbaris rapi di selembar helai daunt alas, berebut naik turun sambil turut bergoyang mengiringi dendang lagu si brurung-burung nuri. Kana pun menyambut senandung pagi itu dengan nyanyian kesukaannya, Suwe Ora Jamu seolah tak ingin kalah dengan burng-burung itu. Langka kakinya ringan menjemput keberuntungan yang akan didapatkannya hari ini. “Ya Allah, beri aku rezeki yang banyak ya hari ini. Aku ingin memberi Bapak topi baru yang lebih bagus daripada topi merah jambu yang kemarin.” Kana berteriak lantang sambil menengadahkan kepalanya di hadapan langit biru yang cerah.

“Kana,,,,Kana! Tunggu aku,“ suara keras tengah menyeru namanya dari balik pohon. Parmin, sahabat senasib sepenanggungan terbaiknya yang selalu setia menemaninya berpetualang menjelajahi sampah, berlari ngos-ngosan menyusulnya.

“Min, nanti sore temani aku pergi beli topi ya. Kau kan tahu pasar mana yang biasanya jual topi-topi murah,” ucap Kana sambil berjalan mengiringi langkah Parmin.

“Siap tuan putri Kana, hamba akan mengantarkan tuan putrid kemana pun putrid mau…..” goda Parmin dengan langkahnya yang sok.

Kana hanya berlalu tanpa menghiraukan godaan Parmin. Dia hanya membalasnya dengan senyuman manis di yang tersimpul di bibirnya.

***

“Min, hari ini aku dapat sepuluh ribu. Cukup kan buat beli topi buat Bapak?” tanya Kana pada Parmin.

“Haha, Kana. Uang segitu mah kebanyakan. Wong kita kan beli topinya di pasar, bukan di mall.” tukas Parmin dengan logat Jawanya yang medhok. Parmin lantas menarik tangan Kana dan berlarian menuju pasar. Tiba-tiba Parmin mengerem langkah dan dug, Kana jatuh menabraknya.

“Aduh, Parmin. Kalau mau berhenti bilang-bilang dong. Kepalaku jadi pusing kepentok kepalamu.” Parmin bukannya menjawab, dia malah menundukkan tubuhnya hingga jongkok di sisi sebuah kaleng lapuk yang karatan. Kana bingung. “Min, kau sedang apa sih?”. Lagi-lagi Parmin diam dan malah menyuruh Kana untuk ikut diam.

“Ssst, lihat Kana apa yang kita temukan.“ Parmin mulai berdiri, sambil tangan kanannya melambaikan selembar kertas uang berwarna merah. Wajahnya begitu girang. “Seratus ribu, Kana. Seratus ribu,..!!!” Kana hanya mematung terdiam, hanya air matanya yang mengalir di pipinya yang menjadi jawaban.

Kana dan Parmin pulang membawa bontotan yang berat. Beras, kopi, minyak, gula, susu, telor, baju dan tak ketinggalan topi baru buat Bapak. Mereka memanggulnya dengan sebuah kayu panjang yang entah ditemukan dimana. Matahari yang hendak bergegas ke peraduan membuat senja hari itu terlihat makin indah dan cantik. Setidaknya bagi Parmin dan utamanya, bagi Kana

***

Segerombolan orang tengah ramai mengelilingi sesosok tubuh yang terbaring di tanah. Tampak seorang pemuida sedang berusaha menekan-tekan dada pada tubuh itu. Sia-sia. Nafas yang menjadi signal kehidupan yang ada di tubuh itu telah terhenti, detak jantungnya pun telah sunyi. Beberapa orang yang memakai seragam polisi mendekat pada tubuh itu. Seorang wartawati muda tengah sibuk menggoyangkan pena di atas secarik kertas, menuliskan jawaban dari seorang nenek yang mungkin adalah saksi.

“Ya Mbak, walaupun saya ini sudah tua, tapi saya masih bisa melihat dengan jelas kalau Bapak itu tadi ingin menangkap sesuatu, saya kurang lihat tadi Mbak. Pokoknya ada barangnya yang kabur tertiup angin. Eh, dia malah jatuh ke sungai, Mbak.” Nenek itu coba bercerita dengan tenang, meski sebenarnya dia berusaha menyembunyikan ketakutannya melihat polisi-polisi yang berseragam itu mulai datang menghampirinya.

Kana dan Parmin yang tengah lewat gerombolan itu pun berhenti. Mereka mencoba menerobos kumpulan manusia itu karena penasaran. Detik selanjutnya, barulah tenggorokan Kana serasa tercekat. Kakinya menjadi lemas hingga tak mampu menopang tubuhnya untuk berdiri. Topi merah jambu yang dipeluk oleh mayat itu sangat dikenalnya. Air mata Kana mengucur deras mengiringi senyuman yang menghiasi wajah laki-laki di hadapannya, seolah senyuman itu ingin memberikan penghiburan, “Jangan bersedih, Kana” padanya. Pandangan mata Kana pun menjadi gelap, segelap mendung hitam yang kini mulai menggelayuti kehidupan yang akan dijalaninya sendirian.

*Ngegeregesi     : meriang

Notes: Cerpen ini merupakan karya yang pertama kali saya buat untuk memenuhi tugas mengarang ketika SMA. Salah satu karya favorit di catatan facebook karena banyak yang berkomentar atau sekedar nge-like.