Sampah-sampah kota berserakan, berbaring di hamparan tanah lapang. Pameran alami ini sama sekali tak mengundang minat orang yang lalu lalang di sekitarnya, bahkan untuk sekedar meliriknya. Ah, lumrah, begitu pikir mereka. Tetapi tidak bagi pemilik sepasang bola mata bening yang tengah menerawang jauh di ujung jalan setapak. Tidak lebih dari 10 meter dari situ, dia berdiri tepat di bawah pohon yang tinggal ranting dan dahan. Pohon satu-satunya yang menjadi penghias area Tempat Pembuangan Sampah. Bukan, lebih tepatnya Tempat Pengumpulan Sampah. Senyuman manis tersimpul di wajah bocah ayu itu. Oh Tuhan, begitu cepatnya sampah-sampah itu menggunung lagi, ucapnya dalam hati.
Perlahan dia merogoh saku bajunya yang kusut. Lima ribu. Hanya selembar kertas warna coklat itu yang didapatnya dari seharian memulung sampah di pinggiran kota Jakarta. Akhir-akhir ini para eksekutif sampah hanya mau membeli rosok-rosok itu di bawah harga standar. Ya mau bagaimana lagi. Pemerintah saja masih bingung dengan langkah apa yang harus dilakukan untuk menyulap sampah-sampah itu menjadi barang yang bisa mendatangkan uang. Lalu, apa yang bisa dilakukan rakyatnya? Satu pertanyaan besar yang tak mungkin akan terjawab oleh bocah cilik seumuran dia. Sejenak bocah cilik itu diam. Sekonyong-konyong dia memanjat pohon, matanya, menjelajahi samudera sampah yang begitu menakjubkan. Aha! Dia berteriak girang. Indera penglihatannya menangkap sesosok benda berwarna merah jambu yang terletak hanya sekitar 2 meter dari posisinya sekarang. Sigap, ia turun dari pohon dan langsung berlari. Terkadang ia harus melakukan lompatan-lompatan kecil untuk melewati gundukan pecahan botol-botol agar kakinya tak terluka. Hup! Lompatan kecil terakhirnya berhasil mendarat dengan lancar. Dipungutnya benda itu. Ups, ternyata benda cantik itu adalah topi. Topi merah jambu yang bertali merah darah dengan -warna yang sudah pudar di sana-sini. Alhamdulillah, ucapan syukur terlontar dari bibir mungilnya.
Tangan kiri bocah kecil itu memegang topi, sementara yang kanan menepuk-tepuk debu yang menempel di atasnya, Dengan mantap, ia mengenakan topi itu di kepalanya sambil berkaca di bongkahan botol yang tergeletak di hadapannya. Cantik, pujinya dalam hati.
Sesampainya di rumah, bocah cilik itu tidak mau menanggalkan topinya sedetik pun. Bahkan saat dia merebus ubi di atas tungku perapian. Dia abru sadar saat suara bass yang serak di balik pintu memanggil-panggil namanya. “Kana, bapak wes mulih, Nduk,” teriak suara laki-laki yang baru saja memasuki rumah. Laki-laki setengah baya itu meletakkan keranjang sampah yang terbuat dari rotan di belakang pintu. Kana, bocah cilik itu segera menyembunyikan topi merah jambunya di bawah dipan. Dia berjalan dengan santai menghampiri sang bapak dengan secangkir kopi pahit yang sudah siap di tangannya.
“Loh, kok Bapak sudah pulang? Ini kopi buat Bapak.“ ucap Kana sambil menyuguhkan kopi di atas meja. Kana duduk di sebelah Bapak, menundukkan badannya untuk mencium tangan Bapak.
“Hari ini sepi, Nduk. Badan Bapak nggeregesi pisan. “ Bapak menyeruput kopi sebentar lalu merebahkan tubuhnya di atas dipan. Kana mendengar desah nafas panjang yang keluar dari helaan nafas Bapak. Kana berpaling menuju dapur. Langkahnya terasa berat melihat kondisi Bapak yang semakin kurus.
Kana menyajikan sepiring ubi rebus sebagai teman kopi di atas meja. Dia lalu menghampiri Bapak untuk memijat lengannya sambil menyanyikan tembang kesayangannya, Suwe Ora Jamu. Bapak yang merasa lelah langsung terlelap dalam buaian Kana. Setelah Bapak tertidur, Kana mengambil topi merah jambunya. “Besok adalah hari Bapak ulang tahun. Aku ingin member kado untuk Bapak,” pelan Kana bergumam sendiri.
Kana mencari kaleng di atas lemari. Ia mengambil seutas benang dan jarum. Ia mulai menyulam nama Bapak, mengawali dari huruf S, lalu A, lalu B, A lagi dan yang terakhir adalah R. meski sulamannya kurang bagus, tapi lumayan lah untuk anak seumuran 10 tahun seperti dirinya. Setelah selesai, Kana meletakkan toip merah jambu itu di atas sajadah hijau Bapak. Ia lalu mengambil sebuah pena dan mulai menulis di atas secarik kertas. Kalimat terakhirnya pun sukses tergores. Lalu, Kana melipat kertas dengan rapi dan menyandingkannya di dekat topi.
***
Malam hari Bapak terbangun untuk sholat. Selesai membasuh muka dengan air wudlu, Bapak mengambil sarung di lemari. Terkejut, ia melihat topi merah jambu di atas sajadahnya. Tapi pandangannya terfokus pada kertas berbentuk persegi yang ada di sisinya. Pelan dia membuka kertas dengan hati-hati. Tulisan tangan yang agak acak-acakan mulai terkuak dan setelah terbaca dengan utuh, kalimatnya berbunyi:
Bapak, selamat ulang tahun.
Semoga Allah selalu mencurahkan kasih sayangNya untuk Bapak.
Maafkan Kana ya, Pak. Cuma ini yang bisa Kana beri untuk Bapak.
Kana
Butiran air mata menetes dari pelupuk mata Bapak. Tubuhnya terasa gemetar, aliran darahnya berdesir saat mengeja kata demi kata yang tergores di kertas itu. Tak hanya sekali atau dua, dia membaca kertas itu berulang-ulang hingga dia hapal dengan isi surat itu. Ibarat sebuah mantra yang mampu memberikan kekuatan batin baginya dan membengkitkan gairah hidupnya yang hampir padam. Rasa ngegeregesi yang tadi menyergap tubuhnya kini lenyap sudah, Ya Allah, terima kasih atas mukijizatMu yang Engkau amanahkan kepadaku. Gadis kecilku, Kana, semoga Allah selalu menjagamu dalam genggaman kasihNya yang tiada tara. Nyanyian malam yang merdu membenamkannya dalam munajat cinta pada Sang Pencipta.
***
Burung-burung nuri yang cantik bernyanyian riang di dahan pohon,Embun pagi berbaris rapi di selembar helai daunt alas, berebut naik turun sambil turut bergoyang mengiringi dendang lagu si brurung-burung nuri. Kana pun menyambut senandung pagi itu dengan nyanyian kesukaannya, Suwe Ora Jamu seolah tak ingin kalah dengan burng-burung itu. Langka kakinya ringan menjemput keberuntungan yang akan didapatkannya hari ini. “Ya Allah, beri aku rezeki yang banyak ya hari ini. Aku ingin memberi Bapak topi baru yang lebih bagus daripada topi merah jambu yang kemarin.” Kana berteriak lantang sambil menengadahkan kepalanya di hadapan langit biru yang cerah.
“Kana,,,,Kana! Tunggu aku,“ suara keras tengah menyeru namanya dari balik pohon. Parmin, sahabat senasib sepenanggungan terbaiknya yang selalu setia menemaninya berpetualang menjelajahi sampah, berlari ngos-ngosan menyusulnya.
“Min, nanti sore temani aku pergi beli topi ya. Kau kan tahu pasar mana yang biasanya jual topi-topi murah,” ucap Kana sambil berjalan mengiringi langkah Parmin.
“Siap tuan putri Kana, hamba akan mengantarkan tuan putrid kemana pun putrid mau…..” goda Parmin dengan langkahnya yang sok.
Kana hanya berlalu tanpa menghiraukan godaan Parmin. Dia hanya membalasnya dengan senyuman manis di yang tersimpul di bibirnya.
***
“Min, hari ini aku dapat sepuluh ribu. Cukup kan buat beli topi buat Bapak?” tanya Kana pada Parmin.
“Haha, Kana. Uang segitu mah kebanyakan. Wong kita kan beli topinya di pasar, bukan di mall.” tukas Parmin dengan logat Jawanya yang medhok. Parmin lantas menarik tangan Kana dan berlarian menuju pasar. Tiba-tiba Parmin mengerem langkah dan dug, Kana jatuh menabraknya.
“Aduh, Parmin. Kalau mau berhenti bilang-bilang dong. Kepalaku jadi pusing kepentok kepalamu.” Parmin bukannya menjawab, dia malah menundukkan tubuhnya hingga jongkok di sisi sebuah kaleng lapuk yang karatan. Kana bingung. “Min, kau sedang apa sih?”. Lagi-lagi Parmin diam dan malah menyuruh Kana untuk ikut diam.
“Ssst, lihat Kana apa yang kita temukan.“ Parmin mulai berdiri, sambil tangan kanannya melambaikan selembar kertas uang berwarna merah. Wajahnya begitu girang. “Seratus ribu, Kana. Seratus ribu,..!!!” Kana hanya mematung terdiam, hanya air matanya yang mengalir di pipinya yang menjadi jawaban.
Kana dan Parmin pulang membawa bontotan yang berat. Beras, kopi, minyak, gula, susu, telor, baju dan tak ketinggalan topi baru buat Bapak. Mereka memanggulnya dengan sebuah kayu panjang yang entah ditemukan dimana. Matahari yang hendak bergegas ke peraduan membuat senja hari itu terlihat makin indah dan cantik. Setidaknya bagi Parmin dan utamanya, bagi Kana
***
Segerombolan orang tengah ramai mengelilingi sesosok tubuh yang terbaring di tanah. Tampak seorang pemuida sedang berusaha menekan-tekan dada pada tubuh itu. Sia-sia. Nafas yang menjadi signal kehidupan yang ada di tubuh itu telah terhenti, detak jantungnya pun telah sunyi. Beberapa orang yang memakai seragam polisi mendekat pada tubuh itu. Seorang wartawati muda tengah sibuk menggoyangkan pena di atas secarik kertas, menuliskan jawaban dari seorang nenek yang mungkin adalah saksi.
“Ya Mbak, walaupun saya ini sudah tua, tapi saya masih bisa melihat dengan jelas kalau Bapak itu tadi ingin menangkap sesuatu, saya kurang lihat tadi Mbak. Pokoknya ada barangnya yang kabur tertiup angin. Eh, dia malah jatuh ke sungai, Mbak.” Nenek itu coba bercerita dengan tenang, meski sebenarnya dia berusaha menyembunyikan ketakutannya melihat polisi-polisi yang berseragam itu mulai datang menghampirinya.
Kana dan Parmin yang tengah lewat gerombolan itu pun berhenti. Mereka mencoba menerobos kumpulan manusia itu karena penasaran. Detik selanjutnya, barulah tenggorokan Kana serasa tercekat. Kakinya menjadi lemas hingga tak mampu menopang tubuhnya untuk berdiri. Topi merah jambu yang dipeluk oleh mayat itu sangat dikenalnya. Air mata Kana mengucur deras mengiringi senyuman yang menghiasi wajah laki-laki di hadapannya, seolah senyuman itu ingin memberikan penghiburan, “Jangan bersedih, Kana” padanya. Pandangan mata Kana pun menjadi gelap, segelap mendung hitam yang kini mulai menggelayuti kehidupan yang akan dijalaninya sendirian.
*Ngegeregesi : meriang
Notes: Cerpen ini merupakan karya yang pertama kali saya buat untuk memenuhi tugas mengarang ketika SMA. Salah satu karya favorit di catatan facebook karena banyak yang berkomentar atau sekedar nge-like.

