Surat Ananda untuk Bunda

Bunda, betapa galau hatiku saat ini telah menyentakkan kerinduanku untuk menuliskan sepucuk surat ini kepadamu. Meski goresan tinta ini tak akan mampu mengabarkan rasa rindu yang hampir membuncah karena tak sanggup menampung harapku akan perjumpaan dan pelukan hangatmu, Bunda. Sejujurnya, surat ini hanyalah sebuah delegasi yang kuutus untuk mengabarkan satu berita maha penting yang ingin kubagi denganmu, Bunda. Untuk itu Bunda, kumohon jangan kau palingkan kedua mata indahmu itu sekejap pun dari deretan kata yang akan kutulis dalam surat ini karena aku tahu Bunda tak sudi kehilangan momen bahagia ini, menyaksikan putri kecilmu yang nakal ini telah tumbuh menjadi seorang gadis dewasa yang mulai memahami indahnya hidup dan kebebasan.

Bunda, kini aku ingin kembali bertanya padamu tentang satu kata yang entah sejak kapan telah asyik berputar-putar di otakku sehingga menganggu kedamaian hidupku. C-I-N-T-A. Dulu Bunda sering mengajarkan padaku tentang nilai-nilai kehidupan yang harus aku junjung dan tak boleh aku abaikan, salah satunya adalah C-I-N-T-A. Aku selalu ingat, Bunda pernah bilang bahwa C-I-N-T-A adalah sebuah persembahan agung dari perasaan kasih yang dimiliki oleh manusia, seperti yang pernah Bunda katakan waktu itu,

“Sayang, cinta itu berawal dari ketulusan dan kebaikan. Jaga dan rawatlah perasaan itu dengan kejujuran agar siapa pun orang yang kita cintai mampu menghargai dan menikmati ketulusan dan kebaikan yang terpancar darinya. Dan ingatlah, Sayang, cinta tak selalu harus diuangkap lewat kata karena ia punya caranya sendiri untuk menyampaikan pada dunia bahwa ia tumbuh dalam hati kita“.
Bunda, mengenang pesanmu itu kini aku paham bahwa cinta memang begitu adanya. Meskipun cinta yang kuresapi ini terasa berbeda dengan cinta yang kumiliki untuk Bunda, namun aku yakin bahwa perasaan yang kini mendekap erat jiwa dan hatiku adalah tulus dan baik. Semenjak aku berani untuk menyematkan cinta ini di relung hatiku, Bunda, semenjak itulah aku berjanji akan menjaga dan merawatnya untuk d-i-a.

Aku tahu pasti Bunda memendam sebuah pertanyaan yang ingin Bunda ajukan padaku,
“Putriku, siapakah pria yang beruntung itu?”.
Jangan khawatir, Bunda. Bunda adalah orang pertama yang akan mengetahui rahasia itu. Saat ini aku hanya bisa mengatakan bahwa d-i-a adalah seorang pria yang baik, cerdas, sopan, teguh pada prinsipnya serta bertanggung jawab baik dalam kehidupan dunianya maupun akhiratnya. Dan tentunya yang tak kalah indahnya, Bunda, d-i-a berwajah tampan sekaligus manis. Jika nanti Bunda bertemu denganya, Bunda pasti akan terpikat pada senyumnya yang memancarkan ketulusan dan kebaikan hatinya.

Karena d-i-a, Bunda, kini putrimu ini merana dan sengsara karena sudah tak mampu lagi menahan rindu dan haru yang semakin membludak hingga rasanya ingin meledak. Hatiku gelisah menantinya bila kami akan bertemu kembali, hatiku cemburu bila ada yang menyebut namanya di depanku, hatiku berdebar jika kami bertemu pandang, dan semua itu membuatku merasa tak nyaman hingga aku menjadi serba salah dibuatnya. Bunda, apa yang harus aku perbuat? Aku tak mak terus menerus tersiksa oleh keadaan ini , Bunda, tapi aku tak tahu daya apa yang kumiliki untuk melawan perasaan ini. Kini aku tak sanggup untuk untuk menanggungnya sendiri. Jiwaku butuh keseimbangan, butuh pegangan, tapi tak ada yang bisa kulakukan selain menanti kan, Bunda? Atau aku harus menjemput kepastian dengan mengungkap perasaan ini kepadanya?

Bunda, sebelum kuakhiri surat ini aku ingin memohon nasehatmu untuk menyejukkan kegalauan hatiku. Untuk itu, balasan darimu sangat aku harapkan sebelum akhirnya putrimu ini bisa jadi gila karena telah tercandui oleh cinta.

Salam sayang

Dari ananda yang tengah bimbang

***kisah ini terinspirasi dari novel “Kitab Cinta Yusuf dan Zulaikha” (Taufiqurrahman al azizy, 2008). Nantikan session 2 nya^^

31 Maret 2010

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *